Supervisi Pendidikan; Mitra Guru atau Sekadar Formalitas
- Diposting Oleh Admin Web Prodi MPI
- Selasa, 11 November 2025
- Dilihat 32 Kali
Oleh: Hilmi Qosim Mubah, M.Pd.I
Mendengar kata supervisi, apa yang terlintas di benak sebagian besar guru?
Bagi banyak orang, kata itu identik dengan selembar kertas penilaian, tumpukan administrasi yang harus rapi jali, dan suasana tegang saat seorang pengawas duduk di kursi belakang kelas. Kunjungan yang seharusnya membangun ini tak jarang berubah menjadi ajang inspeksi yang kaku, bahkan sedikit menakutkan.
Di sinilah kita berhadapan dengan persimpangan besar: Apakah supervisi sejatinya hadir sebagai mitra sejati guru, atau jangan-jangan hanya menjelma ritual formalitas untuk menggugurkan kewajiban?
Kita harus jujur mengakui, di banyak lapangan, praktik supervisi masih terjebak dalam perangkap administratif. Fokusnya terlalu berat pada kelengkapan dokumen, kesesuaian RPP dengan silabus, dan daftar hadir. Tentu, administrasi itu penting, tapi apa gunanya jika 'mesin' utamanya, proses belajar-mengajar yang hidup di dalam kelas, justru terabaikan?
Supervisi model centang-centang seperti ini hanya melahirkan kepatuhan yang semu. Guru sibuk mempercantik kertas agar lolos penilaian, sementara esensi pembelajaran yang memantik nalar kritis siswa luput dari perhatian. Guru akhirnya merasa dinilai, bukan dibina. Mereka merasa diawasi, bukan didampingi.
Padahal, hakikat supervisi jauh lebih mulia dari itu. Bayangkan sebuah skenario lain.
Seorang supervisor datang ke kelas, bukan dengan kacamata mencari kesalahan, melainkan dengan semangat seorang kawan berdiskusi. Setelah observasi, mereka duduk bersama guru, bukan untuk menghakimi, tapi untuk berefleksi bersama.
Supervisi seharusnya memberdayakan. Supervisi adalah coaching, bukan judging. Tujuannya bukan rapor merah untuk guru, tapi peta jalan untuk perbaikan. Supervisor tak lagi bertindak sebagai polisi, melainkan sebagai kawan berpikir yang membantu guru menemukan kekuatan mereka dan mengatasi tantangan unik di kelas.
Di era Merdeka Belajar yang menuntut guru untuk lebih kreatif dan otonom, model supervisi inspeksi jelas sudah usang. Kita butuh supervisor yang turun dari menara gading pengawasan dan mau terlibat di ruang kelas sebagai mitra dialogis.
Perubahan ini menuntut pergeseran paradigma total. Bagi supervisor, ini berarti beralih dari pengawas menjadi pembimbing. Bagi guru, ini berarti membuka diri untuk menerima masukan konstruktif, bukan sebagai kritik yang menjatuhkan, tapi sebagai nutrisi untuk berkembang.
Pada akhirnya, supervisi pendidikan bukanlah tentang dokumen yang sempurna. Ini tentang manusia. Ini tentang bagaimana kita, sebagai satu ekosistem, bahu-membahu memastikan setiap guru merasa didukung, kompeten, dan bahagia dalam mengajar.
Jika supervisi hanya berujung pada tumpukan laporan di atas meja dinas, kita telah gagal. Tapi jika ia berhasil menyalakan kembali semangat seorang guru di ruang kelas, itulah kemenangan sejati pendidikan kita.